JENIS JENIS TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN GAMBUT DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN BAKU BIO BRIKET: Indonesia

Authors

Susilawati
Asysyifa

Synopsis

Rawa Gambut merupakan lahan basah (wetland) yang unik, terutama hanya ada di pesisir timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan), Kalimantan (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat), Papua (terutama  bagian selatan) dan sedikit Sulawesi. Menurut Wahyunto dan Subiksa (2011) Indonesia merupakan negara yang memiliki areal gambut terluas di zona tropis, yakni mencapai 70%. Luas gambut Indonesia mencapai 21 juta ha, yang tersebar di pulau Sumatera (35%), Kalimantan (32%), Papua (30%) dan pulau lainnya (3%). Provinsi Riau memiliki lahan gambut terluas, yakni mencapai 56,1% di Sumatera.

Berdasarkan hasil inventarisasi berbasis teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi luas lahan gambut di Kalimantan seluas 5,769 ha, yang tersebar di empat provinsi yaitu Kalimantan Tengah seluas 3, 012 juta ha, provinsi Kalimantan Barat seluas 1,729 juta ha, provinsi Kalimantan Timur 0,697 juta ha dan provinsi Kalimantan Selatan 0,331 juta ha (Wahyunto, et al., 2005).

Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Saat musim hujan, hutan gambut menampung, menyerap, dan menyimpan air.  Sementara pada musim kemarau, hutan gambut mengeluarkan air untuk keseimbangan ekosistem. Lahan gambut  juga satu-satunya sumber air tawar yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari maupun untuk irigasi pertanian.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia meningkat pesat di beberapa daerah baik di pulau Kalimantan, Papua, Sumatera dan Sulawesi. Lahan gambut dikembangkan untuk berbagai jenis komoditi pertanian sepert padi, sagu, palawija, jeruk, rambutan, sayuran, karet, kopi, kakao dan kelapa sawit. Selain itu juga dikembangkan pengembangan perikanan seperti dibuat menjadi kolam atau tambak.

Ekosistem gambut bersifat rapuh artinya apabila perlakuan berlebihan dan tidak tepat tanpa memperdulikan konservasi dan reservasi maka sifat biogeokimia dan lahan gambut akan berubah atau rusak. Kerusakan lahan gambut ini meliputi baik fisik, kimia maupun biologinya. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kawasan ekosistem gambut yang mengalami kerusakan atau terbakar menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi, maka akan mengurangi material gambut dan akan menghasilkan gas rumah kaca terutama CO2, N2O dan CH4 akan meningkat ke atmosfer sehingga secara langsung akan berpengaruh terhadap perubahan iklim dunia.  Selain itu kerusakan ekosistem gambut dapat menyebabkan banjir di hilir DAS dikarenakan gambut tidak dapat lagi menyerap dan menampung air .

Tumbuhan bawah seringkali dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam meningkatkan kesuburan tanah.

Keberadaan tumbuhan bawah  terutama di lahan gambut    memiliki potensi sebagai salah satu bahan baku briket biomassa.

Komposisi jenis dan identifikasi gulma dan tumbuhan bawah yang ditemukan pada keseluruhan plot penelitian adalah 18 jenis tumbuhan. Jenis-jenis yang ditemukan yaitu Litu/Ribu-ribu (Lygodium scandens), Ilalang (Imperrata cylindrical), Purun Tikus (Eleocharis dulcis), Sampairingan (Schizaea digitata), Kelakai (Stenochelaena palustris), Anggrek Tanah (Bletilla striata), Sasuangan, Karamunting (Malestoma affine), Kerinyuh (Chromolaena odorata), Serai Merah (Cymbopogon nardus), Papisangan (Ludwigia adscendens), Sarapangan (Melinis repens), Rumput Fatimah (Labisia pumila), Bayam Rosa, Bandotan (Ageratum conyzoides), Kapur Naga (Calophyllum soulattri), Paku Piai (Acrostichum aureum), dan Laladingan (Cyperus esculentus).

Hasil perhitungan karakteristik briket dari 10 (sepuluh) jenis gulma/tumbuhan bawah menunjukkan nilai kerapatannya berkisar antara 0,4890 gr/cm3 – 0,6632 gr/cm3 dan dapat dikatakan bahwa kerapatan semua jenis tersebut telah memenuhi standar SNI. Nilai kalor yang memenuhi standar SNI yaitu berkisar antara 5078,83 kal/gr – 

6388,53 kal/gr yang terdapat di dalam briket karamunting, paku piai, laladingan, kelakai, litu ribu, dan serai merah. Kadar abu yang memenuhi standar SNI berkisar antara 5,6433% – 7,6867% yaitu yang terkandung pada briket serai merah, litu ribu, paku piai, dan kelaki. Kadar air berkisar pada nilai 4,2300% sampai 6,7567% yang terkandung di dalam briket sarapangan, sampairingan, papisangan, laladingan, litu ribu, karamunting, dan serai merah, serta dapat dikatakan sebagian besar dari sampel sudah memenuhi standar SNI untuk nilai kadar airnya. Berbanding terbalik dengan kadar zat terbang dan kadar karbon terikat yang seluruh sampelnya tidak memenuhi standar SNI.

 

Downloads

Published

May 7, 2024

Categories